Thursday, May 28, 2009

Cinta Bunda Tak Bermasa

ibuSiapakah yang mendustakan ketulusan cinta seorang Bunda? ..

Rabu sore itu adalah hari terakhir Ana menikmati liburan dikarenakan ruang kelas digunakan untuk Ujian Nasional oleh kelas 12. Ana yang baru beranjak menapaki masa remaja barulah kelas 11 sekarang, sama dengan kelas 2 SMA dulu.

“Uda sore lho Ana, ayo siap-siap ke Asrama!” Bundanya mengingatkan.

“Lagi ga semangat Bunda, besok aja ya?”sahut Ana menyambut pertanyaan Bundanya.

Tidak seperti biasanya ketika harus kembali ke asrama, sore itu Ana tidak menangis, tidak pula merengek minta uang saku, tidak pula minta dianter naik motor. Sore itu, Ana hanya tidak mau kembali ke asrama karena Bundanya tidak memberinya uang saku, tepatnya belum member karena memang saat itu sedang tidak ada uang.

Bagi Ana, kehidupan asrama adalah sesuatu yang sangat baru. Tepatnya setahun setengah yang lalu, ketika baru masuk di sekolah yang mengasramakan muridnya. Waktu itu hamper tiap minggu bisa dipastikan Ana menangis. Kadang berbarengan dengan teman-temannya yang ‘senasib’. Kadang ke Pembina. Kadang juga via telepon, Ana menangis mengadukan keluhan-keluhannya di asrama pada Bundanya.

“Bunda….aku ga mau lagi di asrama. Makannya ga enak. Teman-teman banyak yang nakal. Uang sakunya kurang”, begitulah telepon rutin yang diperdengarkan pada Bundanya.

Menanggapi sikap Ana yang demikian, Bunda tidak lekas mengabulkan semua permintaan Ana. Tidak serta merta setuju kalo Ana keluar dari asrama. Bunda yang tidak pernah belajar ilmu psikologi di kampus, yang Bunda tahu hanyalah kalau orang tua gemati (sayang) dengan buah hatinya kelak ketika usia sudah berbilang maka si anak itulah yang akan gemati pula padanya. Sesederhana itu teori yang dipercayai oleh sang Bunda.

Tidak sedikit ibu yang secara tidak sadar membunuh karakter anak dengan mengabulkan semua permintaannya (dimanjakan). Tidak jarang ada ibu yang tega membentak-bentak anaknya ketika si anak berbuat sesuatu yang dianggap kesalahan oleh ibunya. Tapi tidak dengan Bundanya Ana, Bunda selalu berdoa dan berusaha mendidik Ana menjadi anak yang tidak cengeng dan tabah menjalani setiap episode kehidupan yang akan dilalui. Karena memang Bunda sadar, tidak banyak materi yang bisa diberikannya pada Ana. Sebagai gantinya, Bunda mendidik tanpa lelah dengan cintanya agar kelak Ana menjadi seorang wanita sholihah.

Hanya dengan sarana seadanya, seringkali kali Bunda harus mondar-mandir ke asrama untuk sekedar menengok Ana yang sedang rewel gak betah di asrama. Atau sekedar untuk mengantar uang saku. Delapan kilometer jalanan di kota budaya itu dilintasi oleh Bunda dengan sepeda. Kadang angkutan umum, terkadang sepeda motor kalau ada yang meminjami. Tidak peduli siang atau malam, hari cerah maupun hujan menghadang. Begitulah kasih sayang Bunda pada Ana, buah hatinya.
***
Setahun setengah memang waktu yang lama bagi seorang Ana yang tidak pernah tinggal di asrama sebelumnya. Saat dia mengeluh, sang Bunda lantas mendengarkan semua keluhannya, menguatkan perasaanya, menabahkan hatinya. Ada air mata yang mengalir ketika episode ini dilewati.

Sore itu Ana hanya tidak mau kembali ke asrama karena belum diberi uang saku oleh Bundanya. Tidak seperti biasanya. Ana tidak menangis. Tidak pula merengek karena tidak ada uang saku. Tidak pula menuntut Bundanya untuk mencarikan uang saku untuknya. Sore itu, Ana mencoba memahami keadaan Bundanya.

“Ya udah, kalau sekarang belum mau balik ke asrama, besok padi Bunda anter ke solah”, kalimat Bunda mencoba menenangkan Ana.

Melihat sikap Ana yang demikian, Bunda tidak lantas membentaknya. Tidak pula memarahinya. Tidak sedikit ada ibu yang membentak anaknya ketika si anak berbuat sesuatu yang dianggap sebagai sebuah kesalahan. Tidak jarang ada ibu yang tega mencacai maki anaknya sendiri. Tapi tidak dengan Bunda, Bunda selalu berdoa dan berusaha menyayangi Ana dengan apa yang dimilikinya.
Keesokan harinya… pagi-pagi sekali selepas subuh, Bunda berniat mencarikan uang saku untuk Ana. Seekor ayam jago peliharaan ditangkap hendak dijual. Bunda berdiri mematung di pinggir jalan akses ke pasar sambil berdoa semoga ada yang menawar ayam itu. Tidak hanya menawar tapi membelinya.
“Berapa ayamnya bu”’ Tanya seorang perempuan paruh baya entah dari mana tapi yang jelas dia sedang mencari ayam.

“35 ribu aja bu, ni jago lho”, jawab Bunda sambil membujuk agar ayamn itu terjual.

“Alhamdulillah….”, seru Bunda. Ayam itu pun bertukar dengan uang tiga puluh ribu rupiah.

Bunda bergegas segera pulang dan hendak memberikan uang itu pada Ana. Apa yang terjadi? Memang uang itu diterima Ana tapi dengan rona yang penuh tanda Tanya. Pagi itu Ana masih belum mau masuk sekolah. Sekali lagi Bunda berjuang menunjukkan kasih sayangnya pada Ana. Dengan menahan rasa malu, Bunda menelepon sekolah memintakan ijin Ana tidak masuk dengan alas an sedang sakit. Berbohong? Tidak juga. Bagi Bunda, Ana yang sedang tidak mau ke asrama atau sekolah itu artinya perasaanya sedang sakit. Sakit secara psikis yang hanya Bundanya yang bisa memahaminya.

Tanpa rasa menyesal telah menjual ayam seharga tiga puluh ribu tadi, Bunda beranjak meninggalkan Ana dan berangkat ‘ngantor’, istilah keren untuk pergi bekerja. Bundanya ana adalah seorang buruh di sebuah pabrik.

“Nanti Bunda mau nelepon ke sekolah minta ijin. Kalau uda enakan, jangan lupa berangkat ya!” Bunda bermaksud menyemangati Ana yang sedang labil emosinya.
***
Sore harinya Bunda sudah tidak mendapati Ana tidak di rumah. Pintu rumah tidak terkunci. Bunda berharap bahwa dengan tiga puluh ribu itu Ana mau kembali ke asrama dan sekolah lagi. Begitulah ketulusan seorang Bunda. Uang 30 ribu, terbilang besar untuk ukuran Bunda. 30 ribu yang hanya setengah porsi makan di Hanamasa. 30 ribu yang hanya setengah harga tiket nonton di blitzmegaplex, sebuah teater glamor di Grand Indonesia. Tapi bagi Bunda, uang tiga puluh ribu itu adalah sesuatu yang sangat berharga. Wujud cintanya pada Ana agar mau kembali sekolah. Wujud cintanya sebagai seorang Bunda.
***
Maka siapakah yang mendustakan ketulusan cinta seorang Bunda?

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.
[Q.S.Al-Israa: 23]

No comments:

Post a Comment